“Kabar untuk Tuan Putri”

Sedih rasanya, setiap hari mendengar berita wabah ini. Membuatku setiap malam sulit tidur memikirkan apa yang sedang terjadi, apakah ini ujian, cobaan, atau peringatan. Tak henti aku selalu berdo’a dan berharap. Ya Allah, lindungilah kami, dan segera angkatlah wabah ini.

Suatu pagi, aku teringat sesuatu. Pandanganku beralih ke sisi barat rumah, menyusuri rumput-rumput dan pohon-pohon bambu, di sana ada bangunan kubus tua dengan atap berbentuk seperti limas. Tempat Putri Raja Cermain bersemayam, Mengingatkanku akan sebuah sejarah wabah yang pernah melanda. Aku ingin ke sana, ingin mengabarkan apa yang terjadi.

 

Assalamu’alaikum Tuan Putri.

Semoga rahmat Allah senantiasa menaungimu. Semoga kau baik-baik saja di alam sana.

Kali ini aku mengunjungimu dengan sukmaku, karena aku rindu berziarah ke makammu, sedang ragaku masih terlarang keluar rumah sebab wabah ini. Semoga, saat haul makam panjang setelah hari raya nanti, aku bisa ke sini bersama orang-orang.

Tuan putri, ini aku, rumahku di dekat sini, di arah timur tak jauh dari makammu. Aku sudah mengunjungimu sejak aku masih kecil. Dan seiring berjalannya waktu, aku mulai mengenalmu lewat sejarah kisahmu. Walau aku hidup beberapa abad setelahmu, aku harap kau juga mengenaliku. Mungkin kau akan bingung karena banyaknya orang yang telah menziarahi makammu. Tapi ini aku, kau pasti mengenaliku, aku anak yang dulu sering melewati makam-makam di dekat sini saat aku berangkat dan pulang dari sekolah.

Tuan putri, kali ini aku datang karena aku ingin bercerita, ingin bercurah hati. Aku sudah menganggapmu sebagai teman. Karena aku merasa, mungkin sekarang umur kita telah sama, kita sama-sama gadis remaja yang tinggal di Leran. Bedanya, kau telah mendahuluiku, kau wafat lantaran wabah sampar / tho’un yang menyerang Leran beberapa abad yang lalu. Yang membuatmu terkenang sebagai wanita muda, dan akan selalu muda dalam ingatan orang-orang yang mengenalmu lewat kisahmu. Tuan putri, harus ku kabarkan padamu, tak pernah terbayang di benakku, bahwa aku juga akan melewati situasi yang mirip seperti pada masa mu, yakni pandemi wabah penyakit.

Tuan putri, hampir setiap malam aku sulit tidur, hatiku gelisah, tapi ibuku tak pernah lupa untuk mengingatkanku terus berdzikir, mengaji, dan berdo’a pada Allah, agar semuanya baik-baik saja. Tuan putri, semuanya pasti akan berlalu kan? Seperti pagebluk pada masamu yang kemudian bisa hilang. Aku berusaha berpikir positif dan belajar dari sejarah. Tapi kali ini berbeda, tuan putri, Wabah ini bukan hanya menyerang Manyar saja, tapi juga Indonesia, dan hampir seluruh dunia. Jika ku ibaratkan di masamu, kamu bisa bayangkan seluruh wilayah kekuasan majapahit terkena wabah yang sama. Bukankah itu mengerikan wahai tuan putri? Tapi ada yang lebih menyedihkan lagi tuan putri, ka’bah sepi, kegiatan keagamaan pun dibatasi. Seakan-akan kiamat benar-benar telah dekat. Apakah itu terjadi di masa mu? Tidak bukan? Aku takut, bagaimana jika tahun ini tak ada orang menunaikan haji? Itu benar-benar menakutkan dan aku selalu berharap pada Allah agar itu tidak terjadi. Tuan putri, aku selalu berdo’a pada Allah, bahwa aku tidak mau menjadi manusia yang meninggal ketika kiamat. Kau beruntung, tuan putri. Kau telah pergi lebih dulu.

Tuan putri, apakah kau sedih karena kau adalah salah satu korban keganasan wabah tho’un? Kuharap kau tidak bersedih. Bukankah kau sekarang patut berbahagia? Lihatlah dayang-dayang dan pengasuhmu semua ada di sini, di sampingmu. Kau pasti senang bisa berbaring berdampingan dengan pengasuh dan dayang-dayangmu yang setia, dalam satu cungkup makam yang sama. Ku rasa, pengawal dan prajuritmu juga dimakamkan tak jauh dari sini bukan? Betapa beruntungnya dirimu wahai tuan putri, kau meninggal saat sedang mendalami pelajaran agama islam di Leran, dalam asuhan dan bimbingan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Semoga meninggalmu yang sedang dalam tujuan kebaikan bisa membawamu menuju khusnul khotimah.

Aku tau tuan putri, Aku harusnya bersyukur. Keadaaan Leran saat ini masih jauh lebih baik dari masamu dulu. Dan aku berharap pada Allah, agar wabah yang telah sampai di dekat Leran ini tidak akan menyebabkan kejadian seperti dulu. Bukankah kau dan dayang-dayangmu hanyalah beberapa orang dari banyaknya penduduk Leran yang meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan. Sehingga saat itu banyak sekali kuburan atau pemakaman di Leran. Seperti yang kutemui saat ini, disisi timur, barat, dan selatan rumahku, itu semua pemakaman, baik kuburan lawas maupun kuburan baru. Bahkan beberapa komplek kuburan lawas kabarnya telah berubah menjadi rumah-rumah penduduk. Semoga arwah mereka tetap tenang. 

Intinya, aku berfikir bahwa sepertinya pagebluk di masamu itu jauh lebih parah. Hingga hampir seluruh Leran adalah kuburan. Aku tak ingin itu terjadi lagi. Semoga Allah segera mengangkat wabah ini.

Wahai Tuan Putri, aku ingin bertanya, kiranya bagaimana sikapmu kala itu ketika wabah melanda? Apakah kau juga takut? Aku tau, aku tidak boleh takut. Aku tidak takut. Tuan putri, aku tidak takut. Bukankah ajal sudah ditentukan oleh Allah? Benarkan tuan putri? Kematian adalah waktu yang telah ditentukan oleh Allah. Kita tidak boleh takut mati. Hanya saja, jika aku harus mati, aku tidak ingin mati karena wabah ini. Tuan putri, telah kudengar kabar di beberapa daerah, penduduknya menolak jasad orang yang mati untuk dimakamkan di daerahnya, tentu saja karena meninggalnya lantaran wabah menular ini. Aku tidak ingin itu terjadi padaku, aku juga sudah berdoa pada Allah, bahwa aku tidak ingin saat wafat orang-orang menjauhi makamku. Atau bahkan karena pemerintah melarang kerumunan, pasti tak ada majlis tahlil yang akan berkumpul mendoakan orang yang wafat, semoga itu tidak terjadi. Kau pasti tau Tuan putri, setiap manusia pasti ingin dimakamkan dengan layak.

Aku ingin seperti mu Tuan putri, kau disayangi banyak orang, hingga akhir hayatmu. Bahkan beberapa abad setelah kepergianmu, masih banyak orang-orang yang mendoakanmu. Aku ingin sepertimu tuan putri, yang makamnya sering dikunjungi orang, dan sering dikirimi do’a, bukan malah dijauhi dan ditinggalkan sendirian hanya karena terkena wabah. Itu menyedihkan Tuan Putri. Karena itulah aku tak ingin meninggal sebab wabah ini.

Tuan putri, andai aku bisa bertemu dengan mu, Kau pasti cantik, lebih cantik dariku hingga raja Majapahit tertarik padamu. Aku teringat, Raja Majapahit yang dulu sedang dalam perjalanan menuju Leran untuk melamarmu sangat sedih karena kehilanganmu, hingga tujuannya yang semula melamar berganti menjadi melayat. Saking sedihnya dan sebagai penghormatan untukmu, Sang Raja membangunkan cungkup makam ini untukmu. Walau Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak setuju, tapi kini bangunan di atas makammu ini menjadi salah satu peninggalan sejarah yang Indah. Kamu beruntung Tuan Putri. Dulu aku sering mengamati bangunan ini dan bertanya-tanya kiranya bagaimana cara mereka membangunnya. Dan tak kusangka, ternyata Prabu Brawijaya membangunnya diam-diam di malam hari dengan bala bantuan jin. Namun, Syekh Maulana Malik Ibrahim tetap mengetahuinya, dan beliau berdo’a pada Allah, dengan izin Allah lalu terdengarlah seperti suara ” nutu’ ” dan para jin pun berlari, mungkin karena mengira fajar telah tiba. Sehingga yang terjadi saat itu, adalah bangunan makammu ini tanpa atap.

undefined

Terimakasih tuan putri, kau telah mendengarkan cerita ku. Aku yakin kau bisa mendengarkanku, karena sesungguhnya orang yang meninggal, ruhnya masih hidup. Aku sangat ingin mendengar tanggapanmu, tapi itu mustahil, karena kita beda alam, sehingga komunikasi ini hanya bisa dilakukan satu arah. Seperti aku yang bisa mendengar orang yang sedang menyiarkan berita di televisi, namun dia tidak bisa mendengar komentarku terhadapnya.

Aku pamit tuan putri, maaf jika aku mengganggu istirahatmu.

Wassalamu’alaikum.


Khushushon ila ruhi Syekh Maulana Malik Ibrahim Alfaatihah..

Khushushon ila ruhi Aminah binti Mahmud Saddad Alam Alfaatihah..

Tinggalkan komentar